Memotret Biru Langit yang Hanya Belasan Menit



The Starry Night menjadi salah satu alasan saya harus mampir ke Museum of Modern Art (MoMA), New York. Lukisan karya Van Gogh tersebut menjadi koleksi tetap MoMA selain lukisan monumental lain seperti Gadis di Depan Cermin karya Picasso.

Dan di lantai 3 museum di jantung Manhattan itu, The Starry Night sudah dikerubungi oleh sejumlah pengunjung. Saya harus bersabar untuk bisa mengagumi kekuatan kuas Van Gogh yang begitu dramatis dan emosional.

The The Starry Night berpusat pada warna primer biru yang dipecah oleh kuning bulan sabit dan 11 bintang. Komposisi langit begitu dominan, memenuhi dua pertiga lukisan. Sisanya dipenuhi landscape pedesaan Provence, Perancis Selatan yang mulai gelap.

Rumah penduduk mulai temaram dengan cat dinding merah, kuning, coklat tua dan hijau pekat. Menyelip di tengah-tengah berupa menara Saint Paul de Mausol, tempat Van Gogh dirawat karena dianggap sinting.

Hebatnya, untuk memperoleh landscape malam yang fenomenal itu, Van Gogh melukis pada tengah hari bolong. Namun dengan kekuatan imajinasi dan kecerdasan visual tingkat tinggi, ia melebur suasana twilight dengan penuh energi dan mampu menembus zaman.

Bagi para fotografer, tentu tidak bisa melakukannya pada siang hari seperti yang Van Gogh lakukan. Sebaliknya, menunggu malam gelap pun akan sia-sia karena langit sudah menjadi hitam/gelap. Kemungkinan paling potensial yakni pada perubahan hari dari siang menuju malam, usai matahari terbenam hingga 15-20 menit kemudian.

Momen singkat tersebut -- di beberapa titik waktunya berbeda-beda tergantung posisi matahari dan cuaca -- meninggalkan jejak berupa langit biru pekat dan solid akibat refleksi optik cahaya matahari yang baru tergelincir. Sudut pantulan cahaya di kaki langit membiaskan warna kontras dan serta-merta hilang menjadi hitam/gelap saat malam benar-benar tiba.

Seperti pada foto di tepian sungai Rhine yang saya jepret pada awal musim dingin lalu. Pada sore hari, langit biru dengan awan berombak mampu mengalahkan landscape kota kuno di pinggir sungai yang kharismatik (foto atas).

Begitu malam tiba, langit yang tadinya penuh awan berombak langsung berubah biru pekat dan mengisi komposisi ruang dengan solid. Deretan kota kuno di tepi sungai Rhine menjadi lebih glamour dan bling-bling (foto bawah). Lampu toko dan bangunan lebih terang tertimpa cahaya kota. Pantulan di sungai Rhine semakin mempercantik kota Swiss.



Kelebihan biru tua pasca sunset tidak hanya dimiliki pada saat langit cerah. Ia juga mampu hadir meski pada siang hari cuaca tidak mendukung, mendung, gerimis atau langit putih datar. Kelebihan ini mampu menonjolkan karakter warna yang diinginkan sehingga tidak ada bidang kosong yang tersisa.

Seperti pada foto 'Lot 9' yang dihasilkan pada menit-menit akhir menjelang sunset mendung dan langit putih laksana kanvas kosong yang dingin (foto atas). Tampak sisi kiri atas masih putih pucat sehingga perhatian audiens terpecah (foto atas) dan tidak fokus ke bagian restoran 'Lot 9'.

Pada foto kedua, kondisinya tertolong dan berubah total setelah 'Lot 9' dipotret pasca matahari tenggelam. Pantulan optik membuat warna langit yang tadinya putih cemplang menjadi biru tua. Perhatian audiens pun tidak teralihkan sehingga mampu menikmati menikmati arsitektur dan suasana Lot 9 dengan maksimal.



Kondisinya akan jauh lebih menakjubkan jika menggunakan tripod dan bermain speed lambat. Anda dan siapa saja mampu mengeksplorasi twilight ini dengan lebih maksimal tanpa takut tergoncang atau gambar goyang. Diafragma dapat disetel lebih kecil (angka besar) sehingga ruang tajam landscape menjadi lebih lebar. Dari titik terdekat hingga terjauh bisa fokus semuanya.

Jika menggunakan mode Manual, manfaatkan ISO kecil untuk mengurangi grainy dan hasil paling maksimal. Kemudian tentukan diafragma lalu akhiri dengan speed yang memungkinkan.



Selebihnya biarkan nalar kreatif dan imajinasi yang menuntun kamera sampai menemukan spot dan komposisi terbaik. Siapa tahu, Anda bisa ikut merasakan 'pengalaman spiritual' Van Gogh dalam The Starry Night.